SATU
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak terlepas dari prinsip-prinsip otonomi, yang diwujudkan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab secara proposional kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dengan lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta dengan memperhatikan potensi dan keaneka ragaman daerah.
Salah satu aspek yang sangat fundamental dalam melaksanakan Otonomi Daerah adalah Upaya Pemberdayaan Masyarakat, sehingga dapat berperan aktif dalam setiap pembangunan daerah dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini juga terkait dengan Paradigma Baru Pemerintahhan, yang tidak lagi dominan melaksanakan proses pembangunan namun hanya bersifat katalisator dan fasilitator dalam proses pembangunan.
Disamping itu, pada masa lalu khususnya di pedesan lebih banyak dilaksanakan melalui progran-program yang sentralistik serta diterapkan secara seragam bagi desa-desa di seluruh Indonesia, dengan mengenyampingkan nilai-nilai budaya dan pranata sosial yang berkembang di masyarakat desa.
Dari sejumlah kasus yang terjadi dengan pola pelaksanaan seperti itu, menunjukkkan bahwa penekanan program setralistik telah menumbuhkan mentalitas ketergantungangan, memperlemah prakarsa, serta mengurangi kreatifitas dan daya inovasi masyarakat dalam melaksanakan prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan amanat GBHN dan UUD 45.
Dalam era otonomi daerah saat ini, pemerintah kabupaten/kota diberi kewenangan luas dalam menyelenggarakan pembangunan daerah sesuai dengan potensi sumberdaya, serta kemampuan dan keunikan yang ada di daerah. Dengan kata lain, pembangunan Daerah di masa yang akan datang hendaknya bercirikakan karakteristik sosial lokal yang ada.
Al-Qur’an bagi seorang muslim tidak saja berfungsi sebagai sumber hukum dan pedoman moral, melainkan juga sumber inspirasi yang menawarkan konsep-konsep alternatif tentang berbagai aspek kehidupan. Al-Qur’an memiliki dua kekuatan sekaligus, sentripugal dan sentripetal, ia mampu menarik perhatian para cendekiawan untuk menggali ‘tambang’ pengetahuan yang tak pernah habis. Pada saat yang sama al-Qur’an juga memancar energi ke luar untuk memberikan corak atas konsep pengetahuan, budaya, sosial yang mampu bersaing dengan konsep produk manusia.
Rasulullah saw pada abad ke 6 Masehi telah mampu membuktikan hegemoni al-Qur’an atas peradaban besar masa itu seperti peradaban Romawi, Persi dan sebagainya. Mulai dari konsep politik, pola interaksi dengan berbagai strata sosial, sampai masalah ekonomi terinspirasi oleh pesan moral al-Qur’an. Aisyah pernah ditanya tentang deskripsi akhlaq Rasulullah dalam hadis riwayat Ahmad.
عَنْ سَعْدِ بْنِ هِشَامٍ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ أَخْبِرِينِي عَنْ خُلُقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ (رواه أحمد في مسنده)
Artinya :
Saad bin Hisyam pernah bertanya pada Aisyah tentang bagaimana gambaran dari akhlaq Rasulullah, ia menjawab bahwa semua akhlaq Rasulullah bersumber dari al-Qur’an.
Salah satu aspek kehidupan yang juga bisa didekati dengan konsep al-Qur’an adalah manajemen. Secara definisi dapat dijelaskan bahwa manajemen adalah proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran (Tim Diknas, 1994:623). Setiap muslim pasti memimpikan sebuah kehidupan yang qurani, sebuah pola kehidupan yang sarat akan nilai-nilai al-Qur’an, gema al-Qur’an setiap saat memancar ke seluruh lorong rumah dan relung hati semua anggota keluarga. Untuk merealisasikan idealisme tersebut diperlukan sebuah manajemen khusus, yaitu manajemen al-Qur’an itu sendiri. Manajemen al-Qur’an meliputi bagaimana sebuah kehidupan qurani direncanakan (planning), diorganisir (organizing) dan kemudian dikendalikan (controlling) agar terus eksis.
Orang Bima memiliki watak religius yang khas. Sejarawan Belanda Dr. Peter Carey [1986] memuji daerah ini sebagai kesultanan di Indonesia Timur yang tersohor karena ketaatannya dalam agama Islam. Pujian ini tidak berlebihan. Banyak Ulama terkemuka dari daerah Bima. Dikalangan Ashhab Al Jawiyyinatau saudara kita Orang Jawi. Demikian sumber Arab di Mekkah sekitar abad ke-18, Syekh Abdulgani Bima telah menjdi guru besar di Madrasah Haramayh. Salah satu muridnya adalah KH Hasyim Asy’ari,pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
Islam demikian melekat, antara lain, karena peranan kesultanan yang begitu kuat, yana menjadi Islam sebagai agama raja dan kerajaan. Seluruh elemen kekuasaan didayagunakan untuk kepentingan Islam Raja misalnya menetapkan untuk membangun masjid di tiap kecamatan. Dananya dari hasil mengarap tanah Negara baik itu Dana pajakai dan dana ngaji. Sultan juga menunjuk pemimpin agama di tiap kecamatan yskni lebe nae. Yang mengesankan, seperti cara Sultan Muhammad Salahudin. Dia bukan sekedar membangun rumah ibadah tapi meningkatkan fungsi masjid,musalah,langgar dan surau menjadi tempat pengajian AL-Qur’an bagi anak-anak dantermpat penggajian ilmu bagi orang dewasa. Walhasil masjid menjadi pusat aktivitas sosial.
Menyadari pentingnya pendidikan,sultan bahkan mengirim para pelajar terbaik untuk menuntut lmu ke luar negeri seperti mekah dan Negara arap lain. Mereka di beri beasiswa dengan syarat harus kembali mengbdi untuk Bima setelah sukses menimba ilmu.
Kepada para pejabat, sultan menekankan untuk berperilaku Islami. Dia mengharuskan para pejebat memiliki sifat-sifat utama seperti taqwallah (taqwa kepada Allah), sidiq (berkata benar), amanah (jujur), tablk (menyampaikan amanah) serta pintar.
Faktor lain yang membuat Islam bisa menjadi ideologi terkemuka di daerah ini adalah coraknya yang sufistik. Islam dengan corak ini begitu memikat karena sangat menekankan kepada ilmu kesempurnaan hidup. Orang Bima menyebutnya ngaji tua. Penekananya adalah pada jiwa dan qakbu (tarikat,hakikat dan makrifat), dan tentu saja syariat.
Para sufi kelana seperti Datu Di Bandang dan Di Tiro di abat ke-17 amat berjasa menencapkan Islam sufistik di Bima para sufi ini jualan yang mengislamkan Gowa-Makasar dan kerajaan-kerajaan di Sulawesi. Tak mengherankan kalau kemudian orang Bima menyukai Sulawesi untuk menimba ilmu agama sembari berdagang. Ada rintai spiritual Bima dengan Sulawesi karena praktek Tarekat Saman atau Khalwatiyah sangat dominant di sana. Itulah tarekat yang di gandrungi banyak orang Bima dan mendasari Ngaji Tua atau Ilmu Batin.
Para penuntut ilmu serta mukmin asal Bima di Mekkah juga ikut mendorong tumbuhnya Islam Sufistik ini. Sepulang dari Mekkah, mereka menjadi guru-guru yang disegani bahkan diyakini memiliki karomah. Salah satu Syekh yang punya kesalehan mistis dan sangat legendaries dikalangan masyarakat Bima dan Dompu adalah Syekh Mahdali atau Syekh Boe.
Seperti kelas-kelas Islam di Jawa, Bima pun ada kaum abangan dan priyai, di samping kaum santri. Dalam praktek tarekat pada orang-orang tertentu ajaran tarekat dibaurkan dengan tradisi yang bersifat migis/mistis untuk mendapatkan tenaga batin atau kesaktian.
Dalam perkembangannya, terutama setelah bubarnya kesultanan, ulama-ulama trdisional lambat laun tidak ada lagi. Bima pun seperti mengalami rasa kantuk yang luar biasa. Watak Islam pelan-pelan pudar. Daerah ini manjadi tak berbeda dengan daerah lain di Indonesia, prilaku dekaden mulai muncul seperti pelacuran, minuman keras, narkoba serta judi.
Beranjak dari hal tersebut Pemerintah Kabupaten Bima telah membuat planning programme pembangunan bidang mental spiritual dengan dicanangkannya Program Membumikan Al Qur’an yang merupakan bagian da’wah pembangunan yang religius. Perencanaan (planning) tersebut pada hakekatnya merupakan strategi untuk mencapai suatu tujuan. Tetapi untuk mencapai tujuan tersebut, strategi tidak berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukkan satu arah saja, melainkan harus mampu menunjukkan bagaimana taktik operasionalnya. Karena itu salah seorang pakar Manajemen Moekijat, mengatakan bahwa perencanaan sama halnya dan sama pentingnya dengan pelaksanaan. Demikian halnya dengan strategi dalam membangun mental spiritual masyarakat.
Dengan adanya petunjuk pelaksanaan Program Membumikan Al Qur’an ini diharapkan dapat memunculkakan kreatifitas dan inovasi yang cemerlang melalui partisipasi aktif masyarakat dalam proses pembangunan daerah khususnya dalam mencapai manusia yang taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kaitannya dengan pembangunan yang memperhatikan karakteristik potensi sosial keagamaan di tingkat lokal, terdapat nilai pranata sosial yang khas, Program Membumikan Al Qur’an ini dapat diberdayakan guna melestarikan tradisi agama yang biasa dilaksanakan oleh Kesultanan Bima seperti Panati, Do Sodi, Ngge’e Nuru, Wa’a Co’i, Mbolo Weki, Teka Ra Ne’e, Jambuta, Kapanca (Zikir Kapanca), Boho Oi Ndeu, Kiri Loko, Cafi Sari, Boru ro Keka, Compo Sampari, Saraso, Ndoso dan masih banyak lagi kegiatan-kegiatan keagamaan. Semua hal tersebut merupakan bagian norma kultural yang pada dasarnya telah dicetuskan oleh Kesultanan Bima dengan berdasarkan pada Al Qur’an dan Sunnah sehingga diharapkan dengan Program Membumikan Al Qur’an ini bias menghidupkan kembali tradisi kehidupan yang tidak keluar dari hukum Islam (Syari’at).
Dari semua kegiatan tersebut diiringi pula oleh falsafah hidup. Adapun nilai-nilai atau prinsip-prinsip dasar cultural masyarakat Bima dalam kehidupan sehari-hari terdapat beberapa prinsip antara lain Maja Labo Dahu, Ngaha Aina Ngoho, Nggusu Waru dan lain sebagainya.
Pemanfaatan norma-norma tersebut diharapkan menjadi penguat Program Membumikan Al Qur’an yaitu:
1. Desa yang warganya menjadikan Al Quran sebagai pedoman hidup
2. Memiliki kemampuan untuk membaca Al Quran dan memahami maknanya
3. Memiliki kemampuan untuk mengaplikasikan kandungan Al Quran pada sisi- sisi kehidupan nyata
4. Anak-anak yang aktif dalam taklim Al Quran pada TPQ yang ada di desa masing-masing
5. Desa yang warganya melestarikan budaya-budaya Islam.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Pemerintah Kab. Bima memandang perlu mengembangkan kebijakan program Membumikan Al Quran dalam bentuk penyusunan Petunjuk Pelaksanaan Program Membumikan Al Qur’an untuk mendorong adanya prinsip membangun Dana Mbojo menuju Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Gafur di Kab Bima. Kebijakan program ini dilakukan dengan memberikan petunjuk tehnis pemahaman urgensi Program Membumikan Al Qur’an, pelurusan pemahaman prinsip pelaksanaan Syariat dan Syiar Islam serta memberikan bantuan sosial bidang keagamaan.
Agar kebijakan program pembangunan ini dapat dilihat sebagai satu model pembangunan berbasis mental spiritual yang berciri khas Kabupaten Bima, maka program ini perlu dibuatkan stimulasi pemaknaan yaitu suatu program yang dilakukan oleh, dari, dan untuk masyrakat Kab. Bima untuk berbuat kebaikan secara bersama dalam upaya menciptakan Bima yang Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Gafur.
Program Membumikan Al Quran, yang pada hakekatnya merupakan implementasi dari prinsip-prinsip hidup beragama bagi masyarakat Kabupaten Bima, sehingga masyarakat dapat menghayati dan melaksanakan dengan kongkrit dalam kehidupannya.
1.2. Tujuan
Tujuan Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Tehnis Program Membumikan Al Quran adalah :
1. Dengan Petunjuk Pelaksanaan Program Membumikan Al Qur’an diharapkan bisa menjadi sebuah paradigma pengetahuan terhadap tujuan Program Membumikan Al Qur’an di Kabupaten Bima.
2. Dengan Petunjuk Tehnis Program Membumikan Al Qur’an diharapkan bisa dijadikan sebagai dasar dalam mengimplementasikan Program Membumikan Al Qur’an di Kabupaten Bima dalam praktek kehidupan sehari-hari.
1.3. Prinsip Kebijakan Pelaksanaan dan Tehnis Program Membumikan Al Quran
Adapun prinsip dari kebijakan program Membumikan Al Quran adalah:
a. Inisiatif, bermakna bahwa kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan harus berasal dari usulan yang direncanakan oleh masyarakat
b. Partisipatif, bahwa dalam proses pelaksanaan program kegitan yang direncanakan harus mengedepankan partisipasi dan keterlibatan masyrakat secara aktif baik dalam menyatukan kesefahaman maupun ide dan pemikiran, mulai dari perencanan, pelaksanaan, serta pengawasan.
c. Demokratis, bahwa dalam penentuan kegiatan yang akan direncanakan ditentukan dan diputuskan secara bersama baik di tingkat Desa maupun pada tingkat Kecamatan
d. Manfaat, bahwa kegiatan- kegiatan yang akan dilaksanakandapat bermanfaat bagi kepentingan masyrakat hususnya dalam membangun kepribadian dalam pergaulan masyarakat yang bisa member manfaat bagi kemaslahatan ummat.
e. Gotong royong, bahwa kegiatan yang direncanakan mampu mengedepankan rasa gotong royong dan kebersaman dari seluruh lapisan masyrakat dengan pemerintah dalam mewujudkan kesuksesan pembangunan daerah Kabupaten Bima.
f. Berkelanjutan, bahwa kegiatan yang dilaksanakan dapat dipelihara, dan dilestarikan oleh masyrakat sendiri sehingga bisa dilanjutkan dan menjadi hikmah bagi generasi penerus di masa yang akan datang.
1.4. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi kegiatan program Membumikan Al Quran adalah di wilayah desa terpilih pada setiap kecamatan di Kabupaten Bima berdasarkan hasil usulan hasil musywarah tingkat kecamatan yang telah diverifikasi oleh Camat.
2
PRINSIP PEMAKNAAN
PROGRAM MEMBUMIKAN AL QUR’AN
2.1. Membumikan Al Qur’an Dalam Kehidupan
Al-Quran diturunkan Allah kepermukaan bumi agar kiranya manusia memakainya sebagai petunjuk dalam kehidupan. Sehingga kehidupan mereka menjadi terarah dan lurus menuju kepada-Nya. Sebaliknya, orang yang berpaling dan tidak mau menjadikannya sebagai petunjuk dan pembimbing akan menuju jalan yang salah dan tersesat. Al-Quran sebagai petunjuk dalam kehidupan ini bukanlah sebatas untuk mendapatkan kebahagian dunia semata, tetapi mencakup kedua aspek, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Jadi sangat berbeda sekali dengan petunjuk-petunjuk yang lain yang terbatas hanya sampai pada dunia semata.
Sebagai pencipta alam semesta ini, Allah Swt sudah mengetahui kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan manusia dipermukaan bumi dalam mengatur, memelihara, mereka. Untuk menjawab itu semua Allah telah membuat peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh manusia. Dimana seluruh aturan tersebut keseluruhannya telah tertuang dalam Al-Quran. Karena di dalam Al-Quran tersebut sudah pasti didapatkan petunjuk dan kebahagian, maka Allah menyatakan secara jelas bahwa ia merupakan petunjuk yang mengantarkan manusia kepada jalan kebenaran dan kebahagiaan. Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 183 yang artinya: “Al-Quran adalah petunjuk bagi manusia dan penjelas antara yang hak dan batil”.
Sebagai petunjuk dalam kehidupan maka manusia harus dapat menggali dan menemukan petunjuk-petunjuk itu di dalamnya. Sebab Al-Quran yang diturunkan tersebut bukan berbentuk dalam bentuk suara seperti kaset, CD, dan lain sebagainya. Namun, bacaan yang harus digali dan dipahami sehingga dapat diambil petunjuk dan bimbingan dari dalamnya.
Paling tidak ada empat pilar sikap yang harus kita lakukan terhadap Al-Quran sebagai pedoman dalam hidup ini, yaitu:
Pertama, Membacanya. Ini merupakan pilar pertama yang harus dilakukan seseorang untuk dapat menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk dalam kehidupannya. Mungkin perintah untuk membaca ini adalah perintah Allah kepada kita pada pertama kalinya untuk dipenuhi. Seperti disinyalir dalam Al-Quran surat al-‘Alaq ayat 1, yaitu: “Bacalah dengan nama tuhanmu yang telah menciptakan.”
Dari ayat ini sangat jelas pesan yang dapat kita tangkap bahwa membaca merupakan langkah pertama yang harus dilakukan dalam menyikapi Al-Quran sebagai petunjuk dalam hidup ini. Sekalipun yang dibaca itu tidak selalu yang harus tersurat, namun ada juga ayat yang tersirat yang tentunya tidak kalah pentingnya.
Ada sebuah fenomena umum yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita di zaman modern ini. Padahal fasilitas untuk belajar sudah sangat lengkap; guru-guru yang mengajar membaca Al-Quran sudah begitu banyaknya; bentuk-bentuk pengajian dimana-mana menjamur. Namun ironisnya, tetap juga ada yang tidak pandai membaca Al-Quran. Ini sebuah penyakit masyarakat kita yang sangat berbahaya yang harus dihindari sejauh mungkin.
Kedua, Memahami maknanya. Bagi seorang muslim yang sudah dapat membaca Al-Quran dengan baik sudah seharusnya lebih mendalaminya dengan mengetahui makna Al-Quran. Sehingga dengan demikian akan memberikan kesan dan dampak yang positif bagi pembacanya. Allah Swt mempertanyakan kepada kita dalam surat al-Nisa’ ayat 82, yang artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau sekiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak.”
Ayat di atas, merupakan bentuk pertanyaan Allah kepada seluruh manusia, agar kiranya mereka dapat menggunakan seluruh potensi dalam dirinya dalam rangka memahami dan mengambil inti sari nilai-nilai yang dikandung oleh Al-Quran. Namun, cukup disayangkan banyak yang mengaku sebagai umat Islam dan Al-Quran sebagai kitab sucinya. Tetapi ternyata Al-Quran maupun terjemahannya tidak dimiliki sama sekali. Sedangkan mereka yang di luar agama kita sangat bangga membawa dan memegang kitab sucinya pada saat ke rumah ibadah mereka. Tentunya ini suatu hal yang harus mendapat perhatian dan disadari penuh oleh umat Islam secara keseluruhan untuk menumbuhkan kecintaan kepada Al-Quran.
Ketiga, Mengamalkannya. Seorang muslim yang memahami betul tuntunan agama, maka pada saat ia mempunyai ilmu tentang sesuatu tidak ada alasan untuk tidak mengerjakan pengetahuannya tersebut. Demikian juga halnya ketika kita sudah dapat membaca dan memahami Al-Quran. Maka selanjutnya adalah mengamalkan isi Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Baik itu secara pribadi, keluarga, maupun pada tataran masyarakat. Dengan demikian, Al-Quran itu akan hidup di tengah-tengah masyarakat. Apabila sudah tercipta kondisi seperti itu tentu tidak akan mungkin ada lagi kekecauan, pencurian, perzinaan, dan lain sebagainya. Jadi, dengan kata lain pada tataran ketiga ini kita ingin menciptakan “insan-insan qur’ani”, yang tidak hanya mengetahui hukum-hukum Allah atau sebatas pengetahuan semata. Tetapi juga masuk pada tataran praktis yaitu adanya action terhadap perintah dan larangan dalam Al-Quran.
Pada hakikatnya inilah yang menjadi sasaran utama Al-Quran diturunkan. Terjadi sebuah gelombang perobahan besar yang sangat mendasar di tengah masyarakat jahiliyah yang begitu bejat. Perkembangan teknologi, arus lajunya perkembangan budaya yang sudah menyatu antara Timur dan Barat tidak dapat lagi dielakkan. Namun untuk membendung diri, keluarga, masyarakat dengan hal-hal yang negatif maka Al-Quran merupakan alternatif yang pasti.
Keempat, Mendakwahkannya. Selanjutnya pilar terakhir yang harus diindahkan adalah mendakwahkan atau menyampaikan Al-Quran kepada orang lain. Karena tidak menutup kemugkinan ada sebahagian saudara-saudara kita yang belum mengetahui apa yang telah kita ketahui. Atau memang mereka tidak mau, enggan, atau melalaikan diri untuk memenuhi seruan perintah Allah. Maka ini merupakan medan dakwah bagi mereka yang sudah sampai pada pilar ketiga dalam menyikapi Al-Quran. Dalam arti bukan membatasi umat Islam untuk berdakwah tetapi alangkah lebih baiknya mereka yang berdakwah adalah mereka yang sudah mengamalkan Al-Quran. Sebab mendakwahi seseorang padahal dia sendiri pun tidak melakukanya tidak obahnya seperi makna pilosofis “lilin”, orang diterangi tetapi akhirnya gelap sendiri.
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Fushshilat ayat 33,yang artinya: siapakah yang paling baik perkataannya daripada orang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata”sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri (muslimin)”, bahwa melakukan dakwah merupakan bahagian dari perintah Allah sangat mulia.
Sehingga perkataan yang paling baik itu disisi Allah hanyalah “dakwah” tidak lain dari itu. Agaknya penghargaan yang begitu tinggi terhadap dakwah tidak lain karena dakwah sebagai media untuk mengembangkan sekaligus mempertahankan ajaran tauhid yang telah dibawa dan dikembangkan oleh Rasulullah Saw.
Sebagai seorang muslim yang mengaku bahwa Al-Quran sebagai petunjuk hidupnya maka keempat poin pilar di atas merupakan kewajiban kita untuk mengimplementasikannya di tengah-tengah masyarakat. Tidak lagi terbatas seperti anggapan sebahagian orang hanya menjadikan Al-Quran sebagai suplementer atau pelengkap dalam kehidupan. Terciptanya keamanan dan ketentraman di dunia hanya akan tercipta manakala Al-Quran dan spirit yang dikandungnya dijadikan sebagai petunjuk dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
2.2. Syariat Sebagai Sumber Hukum
Suatu hal yang krusial sehubungan dengan syariat Islam dalam kaitannya dengan hukum positif ialah kaidah-kaidahnya di bidang hukum pidana dan hukum publik lainnya. Kaidah-kaidah hukum pidana di dalam sayariat itu dapat dibedakan ke dalam hudud dan tazir. Hudud adalah kaidah pidana yang secara jelas menunjukkan perbuatan hukumnya (delik) dan sekaligus sanksinya. Sementara ta’zir hanya merumuskan delik, tetapi tidak secara tegas merumuskan sanksinya. Kalau kita membicarakan kaidah-kaidah di bidang hukum pidana ini, banyak sekali kesalahpahamannya, karena orang cenderung untuk melihat kepada sanksinya, dan bukan kepada perumusan deliknya. Sanksi-sanksi itu antara lain hukuman mati, ganti rugi dan maaf dalam kasus pembunuhan, rajam untuk perzinahan, hukum buang negeri untuk pemberontakan bersenjata terhadap kekuasaan yang sah dan seterusnya. Kalau kita melihat kepada perumusan deliknya, maka delik hudud pada umumnya mengandung kesamaan dengan keluarga hukum yang lain, seperti Hukum Eropa Kontinental dan Hukum Anglo Saxon. Dari sudut sanksi memang ada perbedaannya. Sudah barang tentu kaidah-kaidah syariat di bidang hukum pidana, hanya mengatur prinsip-prinsip umum, dan masih memerlukan pembahasan di dalam fikih, apalagi jika ingin transformasi ke dalam kaidah hukum positif sebagai hukum materil. Delik pembunuhan misalnya, bukanlah delik yang sederhana. Ada berbagai jenis pembunuhan, antara lain pembunuhan berencana, pembunuhan salah sasaran, pembunuhan karena kelalaian,pembunuhan sebagai reaksi atas suatu serangan, dan sebagainya. Contoh-contoh ini hanya ingin menunjukkan bahwa ayat-ayat hukum yang mengandung kaidah pidana di dalam syariat belum dapat dilaksanakan secara langsung, tanpa suatu telaah mendalam untuk melaksanakannya. Problema lain yang juga dapat mengemuka ialah jenis-jenis pemidanaan (sanksi) di dalam pidana hudud.
Pidana penjara jelas tidak dikenal di dalam hudud, walaupun kisah tentang penjara disebutkan dalam riwayat Nabi Yusuf. Pidana mati dapat diterima oleh masyarakat kita, walau akhir-akhir ini ada yang memperdebatkannya. Namun pidana rajam, sebagian besar masyarakat belum menerimanya, kendatipun secara tegas disebutkan di dalam hudud. Memang menjadi bahan perdebatan akademis dalam sejarah hukum Islam, apakah jenis-jenis pemidanaan itu harus diikuti huruf demi huruf, ataukah harus mempertimbangkan hukuman yang sesuai dengan penerimaan masyarakat di suatu tempat dan suatu zaman. Kelompok literalis dalam masyarakat Muslim, tentu mengatakan tidak ada kompromi dalam melaksanakan nash syariat yang tegas. Sementara kelompok moderat, melihatnya paling tinggi sebagai bentuk ancaman hukuman maksimal (ultimum remidium), yang tidak selalu harus dijalankan di dalam praktik.
Masing-masing kelompok tentu mempunyai argumentasi masing-masing, yang tidak akan diuraikan dalam makalah ini. Pada waktu tim yang dibentuk oleh Menteri Kehakiman, sejak era Ismail Saleh, diberi tugas untuk merumuskan draf Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, tim perumus nampaknya telah menjadikan hukum yang hidup di dalam masyarakat, sebagai sumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum pidana yang bersifat nasional. Karena itu, tidak mengherankan jika ada delik pidana adat seperti orang yang secara terbuka menyatakan dirinya memiliki kemampuan melakukan santet untuk membunuh orang lain yang sebelumnya tidak ada di dalam KUHP warisan Belanda, dimasukkan ke dalam draf KUHP Nasional.
Demikian pula rumusan pidana perzinahan, nampaknya mengambil rumusan hukum Islam, walaupun tidak dalam pemidanaannya. Dalam draf KUHP Nasional, perzinahan diartikan sebagai hubungan seksual di luar nikah. Sementara KUHP warisan Belanda jelas sekali perumusannya dipengaruhi oleh hukum Kanonik Gereja Katolik, yang merumuskan perzinahan sebagai hubungan seksual di luar nikah, tetapi dilakukan oleh pasangan, yang salah satu atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain. Dengan demikian, menurut KUHP warisan Belanda, hubungan seksual di luar nikah antara dua orang yang tidak terikat perkawinan misalnya pasangan kumpul kebo bukanlahlah perzinahan. Perumusan perzinahan dalam KUHP Belanda ini nampak tidak sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Mereka mengambil rumusan perzinahan dari hukum Islam, tetapi pemidanaanya mengambil jenis pemidaan dari eks hukum Belanda, yakni pidana penjara. Dari uraian di atas, terlihat dengan jelas bahwa syari’at Islam, hukum Islam maupun fikih Islam, adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk yang majemuk, maka dalam hal hukum keluarga dan kewarisan, maka hukum Islam itu tetaplah dinyatakan sebagai hukum yang berlaku. Sebagaimana juga halnya, jika ada pemeluk agama lain yang mempunyai hukum sendiri di bidang itu, biarkanlah hukum agama mereka itu yang berlaku. Terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum perdata lainnya, seperti hukum perbankan dan asuransi, negara dapat pula mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam di bidang itu dan menjadikannya sebagai bagian dari hukum nasional kita.
Sementara dalam hal hukum publik, yang syariat Islam itu sendiri hanya memberikan aturan-aturan pokok, atau asas-asasnya saja, maka biarkanlah ia menjadi sumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum nasional. Di negara kita, bukan saja hukum Islam – dalam pengertian syariat – yang dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi juga hukum adat, hukum eks kolonial Belanda yang sejalan dengan asas keadilan dan sudah diterima masyarakat, tetapi kita juga menjadikan berbagai konvensi internasional sebagai sumber dalam merumuskan kaidah hukum positif kita. Ketika hukum poistif itu telah disahkan, maka yang berlaku itu adalah hukum nasional kita, tanpa menyebut lagi sumber hukumnya. Ada beberapa pihak yang mengatakan kalau hukum Islam dijadikan sebagai bagian dari hukum nasional, dan syariat dijadikan sumber hukum dalam perumusan kaidah hukum positif, maka Indonesia, katanya akan menjadi negara Islam. Saya katakan pada mereka, selama ini hukum Belanda dijadikan sebagai hukum positif dan juga dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi saya belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa negara kita ini akan menjadi negara Belanda. UU Pokok Agraria, terang-terangan menyebutkan bahwa UU itu dirumuskan berdasarkan kaidah-kaidah hukum adat, tetapi sampai sekarang saya juga belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa Indonesia sudah menjadi negara Adat.
Di manapun di dunia ini, kecuali negaranya benar-benar sekular, pengaruh agama dalam merumuskan kaidah hukum nasional suatu negara, akan selalu terasa. Konsititusi India tegas-tegas menyatakan bahwa India adalah negara sekular, tetapi siapa yang mengatakan hukum Hindu tidak mempengaruhi hukum India modern. Ada beberapa studi yang menelaah pengaruh Buddhisme terhadap hukum nasional Thailand dan Myanmar. Hukum Perkawinan Pilipina, juga melarang perceraian. Siapa yang mengatakan ini bukan pengaruh dari agama Katolik yang begitu besar pengaruhnya di negara itu. Sekali lagi saya ingin mengatakan bahwa mengingat hukum Islam itu adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka negara tidak dapat merumuskan kaidah hukum positif yang nyata-nyata bertentangan dengan kesadaran hukum rakyatnya sendiri. Demokrasi harus mempertimbangkan hal ini. Jika sebaliknya, maka negara kita akan menjadi negara otoriter yang memaksakan kehendaknya sendiri kepada rakyatnya.
2.3. Prinsip Syari’at Dalam Program Membumikan Al Qur’an
Keistemewaan ajaran Islam daripada ajaran agama lainnya adalah sisi universalitasnya. Ajaran-ajaran samawi terdahulu, selalu ditujakan kepada kaum tertentu. Sedangkan ajaran Islam diturunkan untuk seluruh umat, baik manusia ataupun jin (kaffah li al-alamin). Telah dimaklumi, bahwa perundang-undangan manapun harus selaras dengan kondisi dan relevansi pihak yang dibebani undang-undang tersebut. Umat Nabi adam as bisa merasakan kelonggaran syari’at berupa kebolehan menikahi saudara sendiri, karena pada saat itu populasi manusia baru dari satu keturunan. Sedangkan umat Nabi Musa as harus merasakan ketatnya syariat, karena dalam menghadapi Bani Israel yang terkenal keras kepala, membutuhkan langkah-langkah preventif dengan menerapkan undang-undang yang sekiranya dapat membuat mereka jera. Sedangkan syari’at Nabi Muhammad saw (Islam) yang ditujukan untuk seluruh makhluk di dunia ini, baik manusia atau jin, tentunya harus membentuk undang-undang (syari’at) yang bisa diterima oleh semua kalangan. Untuk mewujudkan undang-undang tersebut, syari’at Islam memiliki prinsip-prinsip dasar agar dapat diterima oleh seluruh makhluk di segala zaman. Diantaranya:
- Tidak Mempersulit (‘Adam al-Harajiyah)
Dalam menetapkan syariat Islam, al-Quran senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dalam melaksanaknnya. Itu diwujudkan dengan mamberikan kemudahan dan kelonggaran (tasamuh wa rukhsah) kepada mansusia, agar menerima ketetapan hukum dengan kesanggupan yang dimiliknya. Prinsip ini secara tegas disebutkan dalam Al Quran,
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا ….
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya… (QS. Al-Baqarah: 286)
Al-Yatibi mengatakan bahwa kesanggupan manusia merupakan syari’at hukum mutlak dalam menerima ketetapan hukum syari’at. Ketetapan hukum yang tidak terjangkau oleh kemampuan manusia melihat prinsip ini tidak sah ditetapkan kepada manusia. Hal ini telah menjadi kesepakatan mayoritas ulama, baik dari kalangan Mu’tazilah (rasionalis) maupun sebagian pengikut Asy’ariah (Sunni tradisionalis).
Dalam menetapkan hukum, Allah swt. Senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dan memperhitungkan manfaat dan madlarat yang mungkin ditimbulkan sebagai konsekwensi logis fari pelaksanannya. Karena itu, Abu al-A’la al-Maududi menyebutkan, “Allah membuat undang-undang syari’at untuk mengharamkan sesuatu atas manusia yang membawa ekses negatif (madlarat) dan menghalalkan sesuatu yang mendatangkan dampak positif (manfa’at).
Namun bukan berarti dalam al-Quran tidak ada ketetapan hukum yang sulit dalam pelaksanaannya. Sebab menurut al-Syatibi, hukum sendiri merupakan beban, sehingga kesulitan umum yang biasa dialami masyarakat, misalnya sulit mencari nafkah, tidak termasuk dalam kategori ‘adam al-haraj diatas. Karena kesulitan yang sifatnya seperti itu tidak lain timbul dari kemalasan atau belum adanya keberuntungan saja.
Disinilah pentingnya pembedaan antara musyaqqah (kesulitan) ditinjau dari kacamata syari’at dan musyaqqah menurut kebiasaan umum. Sebab musyaqqah versi masyarakat seringakli dijadikan dalih untuk meremehkan kewajiban agama, sikap mencari-cari kemudahan dalam bearamal.
- Mengurangi Beban (Taqlil al-Taklifiyah)
Prinsip kedua ini merupakan langkah prenventif (penanggulangan) terhadap mukallaf dari pengurangan atau penambahan dalam kewajiban agama. Al-Quran tidak memberikan hukum kepada mukallaf agar ia menambahi atau menguranginya, meskipun hal itu mungkin dianggap wajar menurut kacamata sosial. Hal ini guna memperingan dan menjaga nilai-nilai kemaslahatan manusia pada umumnya, agar tercipta suatu pelaksanaan hukum tanpa ddasari parasaan terbebani yang berujung pada kesulitan.
Umat manusia tidak diperintahkan untuk mencari-cari sesuatu yang justru akan memperberat diri sendiri. Allah swt. Berfirman,
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qè=t«ó¡n@ ô`tã uä!$uô©r& bÎ) yö6è? öNä3s9 öNä.÷sÝ¡n@ bÎ)ur (#qè=t«ó¡n@ $pk÷]tã tûüÏm ãA¨t\ã ãb#uäöà)ø9$# yö7è? öNä3s9 $xÿtã ª!$# $pk÷]tã 3 ª!$#ur îqàÿxî ÒOÎ=ym ÇÊÉÊÈ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya akan menyusahkan kalian....(QS. al-Maidah: 101)
Sebagian riwayat menjelaskan bahwa kronologi turunnya ayat ini adalah ketika Nabi sedang berpidato di hadapan umatnya, tiba-tiba seorang diantara mereka bertanya, “Siapakah bapakku?”. “Si Fulan!” Jawab Nabi. Ada pula yang bertanya, “Siapakah nama ayahku?” atau “Di mana untaku?” kemudian turunlah ayat di atas sebagai teguran atas pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu. Bahkan mungkin bisa menyusahkan si penanya sendiri. Karena, jawaban yang akan ia terima merupakan baban dari si penanya sendiri. Padahal prinsip agama adalah pengurangan terhadap beban. (taqlil al-taklif).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Nabi ketika menerima ayat al-Quran menafsirkan sesuai kebutuhan masyarakat pada saat itu. Sedangkan yang tidak dibutuhkan didiamkan saja, dengan maksud nantinya ayat-ayat tersebut dapat ditafsiri sesuai dengan kondisi dan situasi yang terjadi di masyarakat pada masa yang akan datang. Prinsip ini telah disebutkan dalam hadits, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah kalian menyia-nyiakannya. Dan dia telah menetapkan ketentuan-ketentuan, maka janganlah kalian melampauinya. Dia juga telah mengharamkan beberapa hal, maka janganlah kalian merusaknya, serta telah mendiamkan beberapa hal sebagai rahmat buat kalian, bukan karena lupa, maka janganlah kalian membicaraknnya.”
c. Penetapan Hukum secara Periodik (Tazman Al Hukm)
Al-quran merupakan kitab suci yang dalam prosesi tasri’ sangat memperhatikan berbagai aspek, baik natural, spiritual, kultural, maupun sosial uamt. Dalam menetapkan hukum, al-Quran selalu mempertimbangkan, apakah mental spiritual manusia telah siap untuk menerima ketentuan yang akan dibebankan kepadanya?. Hal ini terkait erat dengan prinsip kesua, yakni tidak memberatkan umat. Karena itulah, hukum syariat dalam al-Quran tidak diturunkan secara serta merta dengan format yang final, melainkan secara bertahap, dengan maksud agar umat tidak merasa terkejut dengan syariat yang tiba-tiba. Karenanya, wahyu Al-Quran senantiasa turun sesuai dengan kondisi dan realita yang terjadi pada waktu itu. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan kami kemukakan tiga periode tasryi’ al-Quran;
Pertama, mendiamkan, yakni ketika al-Quran hendak melarang sesuatu, maka sebelumnya tidak menetapkan hukum apa-apa tapi memberikan contoh yang sebaliknya. Sebagai contoh, untuk menetapkan keharaman minuman khamr. Sebagai langkah pertama, yang dilakukan syari’ (Nabi Muhammaf saw) adalah mendiamkan kebiasaan buruk, akan tetapi Nabi sendiri menghindarinya.
Kedua, menyinggung manfat ataupun madlaratnya secara global. Dalam contoh khamr di atas, sebagai langkah kedua, turun ayat yang menerangkan tentang manfaat dan madlarat minum khamr. Dalam ayat tersebut, Allah menunjukkan bahwa efek sampingnya lbih besar daripada kemanfaatannya (QS. Al-Baqarah: 219) yang kemudian segera disusul dengan menyinggung efek khamr bagi pelaksanaan ibadah (al-Nisa: 43)
Ketiga, menetapkan hukum tegas. Dalam contoh tersebut, Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) menetapkan hukum haram minum khamr secara tegas, sebagai langkah yang paling akhir (QS.al-Maidah: 90)
Demikian juga dalam menetapkan hukum yang bersifat perintah. Kewajiban shalat misalnya. Tahap pertama terjadi permulaan Islam (di Mekah), di saat umat Islam banyak menuai siksaan dan penindasan dari penduduk Mekah, kewajiban shalat hanya dua raka’at, yaitu pada pagi dan sore. Itu pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi, kahawatir terjadi penghinaan yang semakin menjadi-jadi dari suku Qurasy. Sebagaimana disebutkan dalam surat Qaf: 39
÷É9ô¹$$sù 4n?tã $tB cqä9qà)t ôxÎm7yur ÏôJpt¿2 y7În/u @ö6s% Æíqè=èÛ Ä§ôJ¤±9$# @ö6s%ur É>rãäóø9$# ÇÌÒÈ
Artinya: Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah (shalatlah) sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya)”
Lalu surat al-Mu’min: 55
÷É9ô¹$$sù cÎ) yôãur «!$# A,ym öÏÿøótGó$#ur Î7/Rs%Î! ôxÎm7yur ÏôJpt¿2 y7În/u ÄcÓÅ´yèø9$$Î/ Ì»x6ö/M}$#ur ÇÎÎÈ
Artinya : Maka bersabarlah kamu, karena Sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah (shalatlah) seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi”
Ketika penderitaan umat telah menyurut dengan dicabutnya pemboikotan atas Bani Hasyim, dumulailah tahap kedua pelaksanaan shalat. Hal itu dimulai setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj dimana Nabi membawa perintah dari Allah swt. Untuk melaksanakan shalat lima waktu. Dalam hal ini Nabi bersabda, “Pada Malam Isra’ Allah swt, mewajibkan kepada umatku lima puluh shalat. Tak henti-hentinya aku meminta keringanan, hingga kemudian kewajiban itu menjadi lima (kali) dalam sehari semalam.
Perintah dalam ayat tersebut kemudian dijabarkan secara jelas oleh Nabi sebagai kewajiban shalat lima waktu, sebagaimana perintah Nabi ketika mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman, “Kabarkan kepada mereka (penduduk Yaman), bahwasannya Allah swt telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam.” Akkhirnya ketika umat Islam telah mulai merasakan ketenangan di negeri baru mereka, Madinah, turunlah kewajiban-kewajiban yang sifatnya lebih terperinci, yaitu dimulai dengan syarat-syarat shalat berupa wudlu dan tayamum (QS. Al-Maidah: 6), serta rukun-rukn (teknis) pelaksanaan shalat. Teknis pelaksanaan shalat sendiri merupakan cara yang diajarkan oleh Nabi saw. Beliau bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.
d. Sejalan dengan Kemaslahatan Universal (Tawazun bil Maslahatil ‘Am)
Manusia adalah obyek dan subyek legislasi hukum al-Quran. Seluruh hukum yang terdapat dalam al-Quran diperuntukkan demi kepentingan dan perbaikan kehidupan umat, baik mengenai jiwa, akal, keturunan, gama, maupun pengelolaan harta benda, sehingga penerapan hukumnya al-Quran senantiasa memperhitungkan lima kemaslahatan, di situlah terdapat syariat Islam.
Islam bukan hanya doktrin belaka yang identik dengan pembebanan, tetapi juga ajaran yang bertujuan untuk menyejahterakan manusia. Karenanya, segala sesuatu yang ada di mayapada ini merupakan fasilitas yang berguna bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya. ‘Abd al-Wahab Khalaf berkata, “Dalam membentuk hukum, Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) selalu membuat illat (ratio logis) yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia, juga menunjukkan bebrapa buktu bahwa tujuan legislasi hukum tersebut untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Di samping itu, Syar’i menetapkan hukum-hukum itu sejalan dengan tiadanya illat yang mengiringinya. Oleh karena itu, Allah mensyariatkan sebagian hukum kemudian merevisinya karena ada kemaslahatan yang sebanding dengan hukum tersebut.
e. Persamaan dan Keadilan (al-Musawah wa al-‘Adalah)
Persamaan hak di muka adalah salah satu prinsip utama syariat Islam, baik yang berkaitan dengan ibadah atau muamalah. Persamaan hak tersebut tidak hanya berlaku bagi umat Islam, tatpi juga bagi seluruh agama. Mereka diberi hak untuk memutuskan hukum sesuai dengan ajaran masing-masing, kecuali kalau mereka dengan sukarela meminta keputusan hukum sesuai hukum Islam. Penyamarataan hak di atas berimplikasi pada keadilan yang seringakli didengungkan al-Quran dalam menetapkan hukum,
Prinsip persamaan hak dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam menetapkan hukum Islam. Keduanya harus diwujudkan demi pemeliharaan martabat manusia (basyariyah insaniyah)
2.4. Kedudukan As Sunnah Dalam Program Membumikan Al Qur’an
As-Sunah sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran, tidak diragukan pengaruhnya di dalam dunia fiqih Islam, terutama pada masa para imam mujtahid dengan berdirinya mazhab-mazhab ijtihad. Sebagai masa kejayaan kajian ilmu hukum Islam di dalam dunia sejarah. Hal semacam ini tidak pernah terjadi pada umat agama lain, baik di zaman dahulu atau sekarang. Setiap orang yang mendalami mazhab-mazhab fiqih, maka akan mengetahui betapa besar pengaruh As-Sunah di dalam penetapan hukum-hukum fiqih.
As-Sunah atau dalam istilah lain Hadis Nabi, secara terminologi adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan. Adapun arti kehujahan Sunah di sini adalah: kewajiban bagi kita untuk beramal sesuai dengan As-Sunah dan menjadikannya sebagai dalil untuk menggali hukum syari'.
Hadis Nabi, walaupun dapat menjadi hujah secara independen (mustaqil), sebagaimana juga Al-Quran, namun kedua kitab tersebut saling melengkapi dan melegitimasi bahwa keduanya adalah hujah dan sumber hukum di dalam syari'at Islam.
a. Dalil Al-Qur'an
Allah swt, di dalam Al-Quran menjelaskan kehujahan Sunah Nabi dengan beragam cara, di antaranya dengan memerintahkan orang yang beriman untuk mengembalikan perselisihan pendapat yang terjadi di antara mereka kepada Allah dan Rasul-Nya:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul".(QS.An-Nisa:59)
Mengembalikan kepada Allah, menurut Imam Saukani, adalah mengembalikan kepada Al-Quran. Sedangan mengembalikan kepada Rasul adalah mengembalikan kepada Sunah Rasul.
Imam Syafii berkata, "bahwa Allah mewajibkan kita untuk taat kepada Rasul, dan selama ketaatan kepada Rasul adalah wajib, maka perkataan beliau menjadi mengikat bagi kita. Dan setiap orang yang berseberangan dengan Rasul, maka orang tersebut dinilai sebagi orang yang durhaka, walaupun Allah telah mengancam orang yang durhaka kepada Rasul-Nya. Maka dapat disimpulkan, bahwa Sunah Rasul adalah hujah yang harus kita pegang."
"Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al-Hikmah". (QS.Ali Imran: 164)
Al-Hikmah di dalam ayat ini, menurut jumhur ulama, adalah sesuatu selain Al-Quran, yaitu As–Sunah. Imam Syafii berkata, "Allah menyebut Al-Kitab yang dimaksud adalah Al-Quran, dan kemudian Dia menyebut Al-Hikmah, saya telah mendengar dari bumi ini, dari para ahli ilmu Al-Quran, semua berkata: Al-Hikmah adalah As-Sunah."
Rasulullah telah diberi oleh Allah Al-Quran dan sesuatu yang lain bersama Al-Quran yang wajib untuk diikuti. Di dalam Al-Quran, Allah dengan jelas menggambarkan tentang Nabi:
"Dia (Nabi Muhammad) yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk''. (QS.Al-A'raf:157)
Ketika di dalam ayat ini bersifat umum, maka hal ini mencakup semua hal yang Nabi haramkan dan yang dia halalkan, baik yang bersumber dari Al-Quran ataupun sumber wahyu Allah yang lain yang diwahyukan kepadanya, yaitu As -Sunah. Karena Nabi, seperti di dalam Al Quran (An-Najm:3), tidak berkata dari keinginan atau hawa nafsunya, akan tetapi dari wahyu.
"Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (QS.Ali Imron:31)
"Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah".(QS.An-Nisa:80)
Allah swt, di dalam dua ayat ini, menjadikan ketundukan kepada Rasul dan Sunahnya sebagai sebab untuk mencintai dan taat kepada Allah. Dan tidak ada makna ketundukan disini, kecuali melakukan semua yang diperintahkan Rasul dan menjauhi semua yang beliau larang:
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya".(QS.Al-Hasr: 7)
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisa:65)
Menjadi jelas di sini bahwa orang yang tidak mengikuti Sunah Nabi dan berpendapat bahwa beramal dengan hadist Nabi bukanlah hal yang wajib, maka orang tersebut adalah pembohong atas pengakuannya mencintai Allah.
Dan di ayat yang lain, Allah tidak memberikan alternatif lain bagi kaum muslim ketika Allah dan Rasulnya telah menetapkan suatu hukum, kecuali hanya mematuhinya dan Dia mengancam dengan azab yang pedih bagi orang yang menyalahi perintah Rasul.
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata".(QS.Al-Ahzab:65)
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih". (QS. An-Nur:63).
b. Dalil As-Sunah
Nabi Muhammad saw ketika khutbah wada' (haji perpisahan) bersabda, ''Aku tinggalkan untukmu dua perkara, seandainya kau berpegang teguh dengan keduanya maka kamu semua tidak akan tersesat selamanya , yaitu Kitabullah dan Sunah Nabi-Nya". (HR. Malik Bin Anas)
Hadis Nabi saw, "ingatlah sesungguhnya aku telah diberi Al-Quran dan yang menyerupainya bersamanya. Hati-hatilah, hampir saja lelaki yang kekenyangan di atas permadaninya berakata: Atas kamu Al-Quran ini (saja), maka apa yang kau dapati di dalamnya halal maka halalkanlah, dan apa yang kau dapati haram maka haramkanlah. Ingatlah, sesungguhnya apa yang diharamkan Rasul sama dengan apa yang diharamkan oleh Allah." (HR.At-Tirmidzi dan Abu Dawud)
Imam Khutobiy berkomentar tentang hadis ini bahwa yang dimaksud sesuatu yang menyerupai Al-Quran adalah As-Sunah, dan Rasulullah mengingatkan kita untuk berhati-hati agar tidak menentang hukum yang ada di dalam Sunah, akan tetapi tidak ada di dalam Al-Quran, karena keduanya sama-sama wahyu dari Allah. Lelaki kekenyangan di atas permadani adalah simbol orang bodoh akibat terbisa kekenyangan atau disibukan dengan hidup berlebihan dan tidak mau keluar menuntut ilmu karena selalu sibuk di atas permadaninya, sehingga berkata: hukum hanya ada di Al-Kitab, dan meninggalkan As-Sunah. Imam Khutobiy mengambil contoh sekte Khowarij dan Rofidoh sebagai ahli bid'ah yang beramal hanya dengan Al-Quran dan meninggalkan As-Sunah.
Mengingat sangat pentingnya As-Sunah, Rasulullah memerintahkan agar berpegang teguh dengan As-Sunah, dengan perumpamaan menggigitnya dengan gigi geraham dan orang yang menolaknya adalah menolak masuk surga:
"Ambilah Sunahku dan Sunah Khulafaurrosidiin yang selalu mendapat hidayah setelahku, berpeganglah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham".(HR.Abu Dawud)
"Semua umatku akan masuk surga, kecuali orang menolak. Para sahabat bertanya: ya Rasulullah! Siapa orang yang menolak? Rasulullah menjawab: barang siapa yang taat kepadaku maka dia akan masuk surga dan barang siapa durhaka kepadaku maka dialah orang yang menolak untuk masuk surga" (HR.Bukhori).
c. Dalil Aqliy (Rasional)
Allah swt mengutus Rasul-Nya untuk menyampaikan risalah-Nya dan mengikuti wahyu-Nya. Cara menyampaikan adalah dengan membacakan Al-Quran dan menjelaskan isinya adalah tugas Rasul. Rasul terjaga dari kesalahan dan dosa (ma'sum), maka dengan ini syariat adalah Al-Quran dan perkataan Rasul (As-Sunah).
Kehujahan As-Sunah tidak tergantung pada Al-Quran, akan tetapi cukup dengan kem'asuman Nabi dan banyaknya mukjizat selain al Quran yang dia miliki untuk menetapkan bahwa sesuatu yang berasal dari Nabi dapat menjadi hujah dengan sendirinya. Hal ini sesuai dengan ketetapan ulama kalam bahwa seorang Rasul tidak disaratkan adanya kitab suci ketika dia membawa risalah, akan tetapi hanya disyaratkan adanya syariat yang diturunkan kepadanya untuk disampaikan kepada umatnya dan memperlihatkan mu'jizat yang dia miliki.
Seperti ketika Allah mengutus Nabi Musa as kepada Firaun dan Bani Israil di Mesir, ketika itu Kitab Taurat belum diturunkan kepadanya, karena Taurat turun setelah kematian Firaun dan keluarnya Bani Israil dari Mesir. Dari kisah Nabi Musa ini dapat diambil dalil bahwa orang yang menentang Nabi Musa sebagai Rasul --setelah memperlihatkan mukjizat-- adalah orang yang durhaka dan berhak mendapat laknat dan azab dari Tuhan. Kehujahan wahyu Nabi yang tak dibacakan (al-wahyu ghoirul matlu:As-Sunah) tidak tergantung pada adanya wahyu yang dibacakan (al-wahyu al-matlu:Al-Quran), yang keduanya sama-sama dari Allah dan masing-masing dapat menjadi dalil secara independen (mustaqil).
Banyaknya kewajiban yang ditetapkan Allah dalam Al-Quran yang masih global dan petunjuk pelaksanaanya tidak dijelaskan dan hanya dijelaskan oleh As-Sunah, seperti sholat, zakat, haji, potong tangan bagi pencuri, dan yang lainnya, yang masih membutuhkan penjelasan dan rincian. Dan dengan ini As-Sunah menjadi penting. Allah berfirman: “dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,” (QS.An-Nahl:44)
Di dalam ayat ini Nabi Muhammad dengan Sunahnya adalah sebagai pemberi penjelasan isi Al-Quran. Hal ini menunjukan kewajiban untuk mengamalkan Sunah Nabi. Jika tidak, maka kita tidak mungkin mengamalkan perintah-perintah yang ada di dalam Al-Quran tersebut.
Memperhatikan betapa pentingnya As-Sunah, Imam Auza'i berkata, "Al-Quran itu lebih membutuhkan As-Sunah dibanding As-Sunah terhadap Al-Kitab". Pernyataan Imam Auza'i ini didasari pertimbangan yang telah saya sebut di atas.
2.5. Hubungan As-Sunah dengan Al-Quran
Hubungan As-Sunah kepada Al-Quran dari segi kedudukannya sebagai hujah dan sumber untuk menggali hukum, maka As-Sunah adalah sumber setelah Al-Quran. Hal ini karena Al-Quran pasti sahih dari segi riwayat (maqtu' bih), sedangkan As-Sunah sebagian pasti dan sebagian tidak (madznunah). As-Sunah adalah penjelasan (al-bayan) dari Al-Quran, maka yang diberi penjelasan (Al-Quran) harus didahulukan dan mengikuti petunjuk Hadis Nabi. Rasulullah kepada sahabat Muadz berkata, "Jika datang kepadamu masalah, dengan apa kau akan menghukumi?" Mua'dz menjawab, "Aku putuskan dengan Kitabullah". Jika tidak kau temukan? Dengan Sunah Rasul, jika tidak kau temukan? Aku akan berijtihad dengan pendapatku." (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).
Adapun hubungan As-Sunah dengan Al-Quran dinilai dari hukum yang ada, maka terdiri dari tiga hal;
Pertama, As-Sunah sebagai penetap dan penguat hukum yang telah ada di dalam Al-Quran. Maka dengan ini hukum tersebut memiliki dua sumber dan dua dalil; dalil Al-Quran dan dalil penguat, As-Sunah. Hukum-hukum tersebut seperti perintah untuk melaksanakan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, haji ke Baitullah, berbuat baik terhadap perempuan, larangan menyekutukan Allah (syirik), bersaksi palsu, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh tanpa alasan yang benar, dan perintah ataupun larangan yang lain di dalam Al-Quran dan dikuatkan oleh As-Sunah. Yang keduanya digunakan sebagai dalil.
Kedua, As-Sunah sebagai perinci (mufasilah) dari dalil yang masih global (mujmal) dari Al-Quran, sebagai pentafsir (mufasiroh) dari dalil yang masih samar (mubham), sebagai pemberi batas (muqoyidah) dari dalil yang masih mutlaq, dan memberi pengkhususan (mukhosisoh) dari dalil yang masih umum ('am) dari Al-Quran.
Ketiga, As-Sunah sebagi dalil independen (mustaqil) di dalam menetapkan hukum. Di dalam As-Sunah terdapat dalil berbentuk perintah dan larangan, tanpa ada di dalam Al-Quran, sehingga hukum ditetapkan berdasarkan As-Sunah, bukan Al-Quran. Di dalam bentuk perintah, seperti kewajiban zakat fitrah, menolong orang yang dianiaya, dan lain-lain. Di dalam bentuk larangan seperti hukum dilarangnya bagi suami untuk berpoligami dengan mengumpulkan perempuan bersama bibi perempuan tersebut (bibi dari pihak ayah atau ibu), hukum haramnya bersetubuh di siang hari bulan Ramadhan, hukum haramnya memakan daging binatang buas yang bertaring, dan lain-lain.
Imam Syafii menyatakan, "Apabila As-Sunah adalah tambahan Al-Quran, maka As-Sunah mengikuti dan kembali kepada Al-Quran dan masuk di bawah dasar-dasar umum syariat Al-Quran. Ijtihad hukum Rasulullah berpangkal pada Al-Quran dan ruh syariat. Dengan ini, maka tidak mungkin akan terjadi pertentangan dan perselisihan antara Al-Quran dan As-Sunah."
Imam Saukani dan Imam Syafii menyatakan, "Pengingkaran terhadap Sunah berkonsekuensi bahaya di dalam agama, dan membuat kita tidak faham shalat, zakat, haji, dan kewajiban-kewajiban lain yang masih global dalam Al-Quran yang dijelaskan oleh Sunah. Kecuali dengan perkiraan bahasa saja. Dengan sebab ini, gugurlah shalat, zakat, hal yang telah diketahui turun-temurun oleh semua orang wajibnya. Sehingga mengetahui hal tersebut adalah pengetahuan pokok dalam agama. Orang yang mengingkari Sunah tidak ada arti apa-apa di dalam Islam."
Ibnu Badron berkata, "Setiap orang yang berpengetahuan mengetahui bahwa tetapnya kehujahan Sunah dan independensinya dalam menetapkan hukum adalah hal pokok dalam agama, dan tidak mengingkari hal tersebut kecuali orang yang merugi dalam Islam.
2.6. Hambatan Pembelakuan Program Membumikan Al Qur’an
Pada prinsipnya, Program Membumikan Al Qur’an bersifat komprehensif dan universal, pelaksanaan Program Membumikan Al Qur’an secara kaffah akan membawa rahmat bagi seluruh alam. Komprehensif artinya Program Membumikan Al Qur’an mengatur sistem kehidupan secara lengkap dalam setiap aspek kehidupan. Universal artinya Program Membumikan Al Qur’an bersifat dinamis, dapat diimplementasikan kapan saja, dimana saja.
Misi rahmatan lil alamin merupakan misi universal, pelaksanaan Program Membumikan Al Qur’an akan menciptakan kebaikan bagi seluruh umat manusia. Karena sumber nilainya jelas, dan segala aspek yang menjadi kebutuhan manusia jelas pula aturannya di dalam Islam, sehingga tidak perlu bingung mencari rumusan mengenai perbuatan yang tercela dan terpuji, porno atau tidak porno. Kini, tinggal kemauan politik pemerintah untuk mewujudkan Program Membumikan Al Qur’an sebagai Rahmatan lil Alamin.
Namun secara alamiah, hambatan yang bisa menghalangi Program Membumikan Al Qur’an yang secara umum dapat disebabkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat terhadap urgensi dan tujuan Program Membumikan Al Qur’an dan kurangnya partisipasi aktif masyarakat dalam memasyarakatkan dan melestarikan budaya-budaya Bima yang Islami
3
KEBIJAKSANAN
PELAKSANAAN PROGRAM
3.1. Metode Pelaksanan
Metode yang dilakukan dalam pelaksanaan Program Membumikan Al Qur’an dilaksanakan dalam bentuk kegiatan aplikatif konstruktif guna mencapai Dana Mbojo yang Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Gafur serta Dou Mbojo yang memegang falsafah Maja Labo Dahu.
3.2. Rancang Bangun Aplikasi Program
Dalam hal ini dilakukan dengan membuat laporan yang diawali dengan abstract, latar belakang, tujuan, landasan teori, analisis, perancangan, implementasi, pengujian, saran-saran.
Dari rancang bangun ini diharapkan ide maupun konsep yang tertuang dalam Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Tehnis Program Membumikan Al Qur’an ini bisa dilaksanakan sebagai acuan dasar masyarakat desa yang ada di Kabupaten Bima dalam mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Al Qur’an serta makna-makna religi yang termuat dalam prinsip Maja Labo Dahu.
Dalam menganalisis program ini digunakan Systen Develoment Life Cycle (SDLC) yaitu suatu media dasar yang memuat seluruh tatanan cara, prinsip dan tujuan Program Membumikan Al Qur’an yang bersumber data Buku Juklak Juknis Desa Membumikan Al Qur’an Kabupaten Bima Tahun 2010 yang terdiri dari identifikasi kegiatan dan identifikasi kebutuhan riil-non riil dalam pelaksanaanya secara Spartan. Kemudian dilakukan sebuah analisis dampak pengaruh serta hubungan pelaksanaan kegiatan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakat Desa yang ada di Kabupaten Bima.
3.3. Kriteria Dasar Pelaksanaan Kegiatan
Dalam rangka menentukan pola dan sistematika pelaksanaan Program Membumikan Al Qur’an harus didasarkan kepada :
a. Kegiatan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip Program Membumikan Al Quran yaitu inisiatif, partisipatif, demokratis, manfaat, gotong royong, dan berkelanjutan yang sesuai dengan prinsip kemaslahatan bagi masyarakat.
b. Jenis kegiatan yang dilaksanakan harus memiliki bobot dan merupakan bagian program proriaritas pembangunan bidang keagamaan.
c. Kegiatan yang akan dilakukkan harus dapat dikerjakan sendiri oleh masyarakat secara gotong royong
d. semua kegiatan dikelola secara terbuka dan dapat dipertangungjawabkan baik secara moral, teknis, maupun administratif
e. Setiap ahir sebuah kegiatan harus dievaluasi secara bersama sehingga dari hasil evaluasi tersebut dapat dijadikan sebagai pelajaran pada kegiatan-kegiatan berikutnya.
3.4. Pendanaan
Sumber dana dalam program Membumikan Al Quran adalah:
a. Dana yang bersumber dari APBD yang jumlahnya disesuaikan dengan kemampuan daerah
b. Dana swadaya masyarakat dan pihak donatur yang tidak mengikat
c. Dana zakat yang disesuaikan dengan ketentuan syara’.
3.5. Manajemen Program Membumikan Al Qur’an Pada Jenjang Individu Dalam Masyarakat
a. Manajemen Dalam Kehidupan masyarakat
Dalam bermasyarakat, modal utama yang harus dimiliki adalah terjalinnya kerjasama positif dengan segala unsur masyarakat (QS. Al-Maidah:2). Jargon ‘berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah’ sangatlah baik diterapkan dalam hidup di tengah-tengah masyarakat. Sikap eksklusif (menjaga jarak) dengan masyarakat lantaran memiliki keunggulan tertentu atau kesalehan dalam keberagamaan justru akan merugikan diri kita sendiri, sebab beberapa peran yang seharusnya dimainkan menjadi tidak berfungsi maksimal. Peran-peran tersebut adalah (1) peran dakwah (QS. Ali Imran:104), (2) peran sosial (QS. At-Taubat:122), dan (3) peran kekhalifahan (QS. Hud:61).
Peran dakwah dituntut oleh agama untuk menjamin kesinambungan implementasi agama di masa-masa mendatang sekaligus menjaga kualitas moral umat agar tetap dalam koridor akhlaqul karimah dan ridla Allah. Mustahil dakwah dapat dilaksanakan dalam kondisi antara kita dan masyarakat bersikap nafsi-nafsi (QS. Ali Imran:103). Pesan dakwah lewat suara mungkin saja dapat dilakukan dengan mengetuk telinga pendengar, tapi untuk menembus hati amatlah sulit.
Perencanaan yang harus dilakukan dalam konteks ini yaitu pandai-pandailah kita bergaul dan bersosialisasi dengan melibatkan diri dalam berbagai kegiatan masyarakat. Selanjutnya mengorganisir misi dan visi kita sebagai insan qurani, untuk berkiprah maksimal dalam mensyiarkan pesan-pesan al-Qur’an di tengah-tengah masyarakat. Tahapan berikutnya adalah memonitor secara kontinyu kelemahan-kelemahan dakwah kita untuk kemudian diperbaiki. Ingatlah kesuksesan kita untuk membentuk komunitas qurani akan sangat tergantung komitmen dan konsistensi kita disertai ketulusan semata karena Allah.
b. Manajemen Kelurga
Keluarga merupakan miniatur sebuah bangsa, baik tidaknya suatu bangsa tergantung kualitas individu dan keluarga. Allah memberi warning agar orang tua tidak meninggalkan keturunan yang lemah fisik maupun psikis (QS. An-Nisa’:9). Keberadaan anggota keluarga memang satu sisi menjadi ‘bunga hidup’, di sisi lain bisa juga menjadi musuh terberat bagi keluarga (QS. At-Taghabun:14). Untuk itulah diperlukan pendidikan agama dan al-Qur’an yang akan menyejukan keluarga (QS. Ar-Ra’d:28).
Upaya menciptakan keluarga sakinah dimulai dari pemilihan pasangan hidup, Al-Qur’an menganjurkan pasangan yang sepadan (QS. An-Nur:26). Dalam konteks ini yang terpenting adalah sepadan dari segi kualitas agamanya. Bila keluarga yang kehendaki itu keluarga yang qurani, maka semua unsur keluarga harus dikondisikan untuk target tersebut sejak semula.
Perencanaan yang harus muncul dalam konteks ini yaitu kebulatan tekad untuk hidup dibawah lindungan al-Qur’an. Berbagai aktifitas kita bersama keluarga disetting dengan skenario qurani. Mulai terbit fajar sampai malam hari harus disempatkan memperdengarkan al-Qur’an pada keluarga dan berinteraksi dengan mereka juga menerapkan etika qurani.
c. Manajemen al-Qur’an dalam kehidupan kampus Dalam Masyarakat
Merupakan prasarat bagi seorang muslim yang ingin menggapai derajat tertinggi di sisi Allah bahwa ia harus memiliki pengetahuan memadai apapun disiplin ilmunya (QS. Al-Mujadilah:11). Al-Qur’an ansich belum menjadi sebuah disiplin ilmu, akan tetapi masih berupa bahan mentah yang perlu dikelola lebih lanjut. Jadi, semata-mata menguasai al-Qur’an (apalagi baru tahap membaca dan menghafal) saja, belumlah dapat dianggap sebagai orang yang berilmu (‘u:tul ‘ilm) atau cendekiawan (ulul albab) selama belum ditopang oleh disiplin ilmu agama seperti tafsir, hadis, ushul fiqh, ulum al-Qur’an dan lain-lain. Akan lebih ideal lagi, bila diperkaya dengan disiplin ilmu umum seperti matematika, astronomi, sosiologi, linguistik dan seterusnya.
Proses belajar yang panjang haruslah bermuara pada ‘khasyatullah’ (QS. Al-Fathir:28), yaitu hadirnya sebuah kesadaran bahwa setinggi apapun ilmu seseorang tetap saja belum seberapa dibanding ilmu Allah, akibatnya muncul rasa tunduk dan takut pada sang pencipta, Allah Azza wa Jalla.
Tidak semua orang yang menuntut ilmu di perguruan tinggi sukses, sebaliknya tidak sedikit orang yang hanya berpendidikan dasar atau menengah saja bisa sukses, baik sukses dalam keimanan dan kehidupan maupun sukses dalam kemulyaan. Kuncinya adalah ketaqwaan (QS. Al-Baqarah:252) dan motivasi (QS. Al-Kahfi:101). Tidak sulit bagi Allah untuk memasang atau mencabut ilmu pada diri seseorang (QS. Ali Imran:26), demikian juga sangatlah mudah bagi-Nya untuk memberi kemanfaatan atau menghilangkan keberkahan dari ilmu yang sudah diberikan pada seseorang. Namun, belum cukup ketaqwaan dan motivasi untuk menggapai prestasi ‘al-ilm an-nafi’ tanpa kerja keras (QS. Al-Ankabut:69) dalam proses transfer ilmu, baik dari sumber belajar maupun dosen.
Membaca merupakan proses vital dalam implementasi tranfer ilmu. Wahyu yang pertama kali turun (QS Al-Alaq:1) mengisyaratkan bahwa membaca menjadi entry point untuk memahami pesan-pesan agama. Di sini membaca tidak dibatasi pada lembaran kertas, melainkan juga membaca fenomena-fenomena alam dan seluruh jagat raya (QS. Fussilat:52). Pengalaman leadership dalam organisasi intra maupun ekstra kampus ikut menjadi bagian penting dari proses membaca yang akan memperkaya khazanah keilmuan kita.
Perencanaan yang harus dilakukan mahasiswa dalam hal ini yaitu menghimpun informasi dan motivasi sebanyak-banyaknya kemudian melakukan internalisasi niat dan membangun komitmen sesuai yang dicita-citakan. Selanjutnya komitmen tersebut diorganisir dengan menyesuaikan kondisi kemampuan yang dimiliki serta kondisi lingkungan sekitar. Setelah tahapan tersebut terlampaui, harus ada pengawalan sampai target terpenuhi. Tidak mustahil, akan muncul rintangan silih berganti dari internal maupun eksternal. Di sinilah letak ujian terberat dari sebuah proses menuju tangga sukses, untuk itu dibutuhkan usaha ‘all out’ untuk menaklukkannya.
d. Manajemen al-Qur’an dalam dunia kerja
Sejarah telah membuktikan bahwa para nabi ternyata bekerja keras (QS. Al-Furqan:20) untuk kelangsungan hidup mereka. Mereka tidak memanfaatkan dakwahnya untuk meraih keuntungan duniawi (QS. Yasin:21), sehingga tercipta kemandirian dan ketangguhan secara ekonomi. Bahkan, sebaliknya tidak sedikit para sahabat Nabi mengorbankan hartanya demi kelancaran dakwahnya.
Kita sebagai insan qurani, seyogyanya tidak menggantungkan hidup (rizqi) dari belas kasihan orang atau memanfaatkan keahlian kita membaca/menghafal al-Qur’an (QS. Ali Imran:199). Al-Qur’an tidak diturunkan ke dunia ini dalam konteks untuk dijadikan komoditas ekonomi, tapi untuk memberikan petunjuk dan pedoman hidup demi kebahagiaan dunia sampai akherat (QS. Al-Isra’:9). Justru Al-Qur’an banyak memotivasi kita untuk kerja keras dan menafkahkan rizki kita untuk umat yang lemah (QS. Al-Baqarah:3).
Perencanaan yang harus dilakukan dalam konteks ini yaitu mengenali potensi dan keterampilan yang kita miliki. Setelah itu bertekad untuk tidak akan menggantungkan hidup pada orang lain atau mengandalkan penghasilan dari al-Qur’an yang kita baca. Kita organisir wilayah kerja kita, kapan kerja untuk kerja, kapan kerja untuk amal, dan kapan kerja untuk dakwah. Kebiasaan insan qurani berdisiplin dalam belajar keras perlu ditindak lanjuti dengan kerja keras. Dalam bekerja lupakan seluruh atribut qurani agar tidak gamang dalam mengais rizqi dari jalan apapun selama Allah ridla.
3.6. Monitoring,Evaluasi, dan Pengawasan
1. Monitoring dan Evaluasi
a. Monitoring dan evaluasi kegiatan dimaksudkan untuk mengetahui kemajuan pelaksanan, permasalahan, dan rencana tindak lanjut pemanfaatan kegiatan, monitoring dan evaluasi kegiatan juga untuk mengetahui nilai tambah atau kemampuan swadaya masyarakat yang berhasil dihimpun dalam program Membumikan Al Quran
b. Monitoring dan evaluasi dilakukan pihak kecamatan dan desa yang selanjutnya dibahas dalam rapat koordinasi dan kemudian disampaikan kepada pihak kabupaten
c. Pihak kabupaten selanjutnya melakukan monitoring dan evaluasi berdasarakan laporan pihak desa, pihak kecamatan.
2. Pelaporan
Laporan yang harus dibuat adalah laporan panitia yang yang ditunjuk di tingkat desa berupa laporan hasil kegiatan yang terdiri dari bukti dokumentasi dan lainnya yang melampirkan SPJJ
3. Pengawasan. Pengawasan dilakukan oleh elemen masyarkat
3.7. Sanksi dan Penghargaan
a. Sanksi
1. Sangsi beretujuan untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab pihak-pihak terkait dalam pengelolaan kegiatan
2. Sangsi diberikan apabila bantuan yang diberikan digunakan tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
3. Sangsi dapat berupa:
· Sangsi masyrakat, yaitu sanksi yang ditetapkan melalui kesepakatan dalam musyawarah Kecamatan dan desa
· Sangsi hukum, sangsi yang diterapkan kepada aparat dan masyrakat sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku
· Sangsi administratif, dengan melakukan pemberhentian bantuan apabila pihak desa dan kelompok masyarakat [pokmas] tidak dapat mengelola bantuan dengan baik, seperti: menyalahi prinsip-prinsip gerakan pembangunan Membumikam Al Quran, penyalah gunaan dana atau wewenang dan penyimpangan prosedur
4. Kecamatan/desa yang tidak dapat melaksanakan dan melakukan penyimpangan pengelolaan program tersebut dikategorikan sebagai kecamatan/desa bermasalah sehinga doitunda pencairan dana yang sedang berlangsung, atau ytidak dialokasikan untuk tahun berikutnya
b. Penghargan
Penghargaan akan diberikan kepada kecamatan/desa, yang melakukan program Membumikan Al Quran secara baik. Pedoman dan penentuan kecamatan dan desa yang berprestasi akan dirumuskan oleh Pemerintah dengan memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut:
1. Kegitan yang dilaksanakan merupakan kegiatan yang diprioritaskan serta sesuai dengan prinsip-prinsip program Membumikan Al Quran
2. Hasil pelaksaan kegiatan mempunyai kualitas yang baik
3. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat tinggi
4. Relatif tidak ada masalah dalam pelaksanaan kegiatan
5. Pelaksanaan kegiatan tepat waktu baik fisik maupun administrasi
Penghargan direncanakan diberikan disesuaikan dengan hasil rapat pemerintah yang disesuaikan dengan situasi keuangan daerah.
4
BEBERAPA BUDAYA DOU MBOJO
YANG ISLAMI
Dalam tradisi Bima, upacara memegang peranan menentukan. Upacara sudah mentradisi sejak BimaKuno terutama mewarisi tradisi Hindu dimasa lampau. Ketika Islam menjadi menjadi agama kerajaan Bima, upacara menjadi alat dakwah, sebut saja upacara U`a pua, yang mempunyai nilai syair luar biasa.
Dalam masyarakat Donggo dulu, upacara umumnya bernilai sakral. Misalnya upacara persembahan kepada Dewa. Mereka mengorbankan binatang seperti kerbau. Namun upacara animis tersebut sudah ditinggalkan seiring dengan menguatnya pengaruh Islam dalam diri mereka antara lain :
Dou so`di
Upacara melamar atau meminang dalam bahasa daerah Bima disebut Panati. Orang yang diutus unutuk melakukan peminangan disebut Ompu Panati. Bila pinangan itu diterima, resmilah kedua remaja berada dalam ikatan pacaran. Satu dengan yang lain disebut Dou So`di [Dou artinya orang, So`diartinya Tanya, maksudnya orang yang sudah ditanya isi hatinya dan sepakat untuk dikawinkan]. Karena mereka sudah saling diikat, yang serang sudah menjadi Dou So`di yang lain, kedua remaja itu tidak bebas lagi untuk mencari pacar [khaerul muslim 2001].
Jika kedua remaja itu sudah mengikat janji, biasanya perempuan meminta sang pria agar mengirim orang tuanya. Basanya So`di Angi biasanya tidak berlangsung lama melainkan langsung diikuti dengan melamar sang gadis. Tujuannya, antara lain, untuk menghindari fitnah dan hal-hal yang tidak terpuji.
Panati
Dalam tradisi Bima, panati menjadi pintu gerbang menuju kejenjang pernikahan. Penati adalah melamar atau meminang perempuan.
Penati diawali dengan datangnya utusan pihak pria ke orang tua perempuan. Utusan dating untuk menanyakan apakah gadis sudah memilki kumbang atau calon suami. Bila memperoleh jawabanbahwa sang perempuan berstatus bebas, kembali dilakukan pendekatan untuk mengetahui apakah perempuan itu dapat dilamar. Jika lamaran itu dapat diterima oleh pihak permpuan, si pria melakukan apa yang disebut Wi`I nggahi. Pada hari yang ditetapkan, pertunangan diresmkandalam upacara Pita nggahi.
Ngge`e Nuru
Ngge`e Nuru maksudnya calon suami tinggal bersama di rumah calon mertua. Ngge`e artinya tinggal, Nuru artinya ikut. Pria sudah diterima lamarannya, bila kedua belah pihak menghendaki, sang pria diperkenankan tinggal bersama mertua di rumah calon mertua. Dia akan menanti bulan baik dan hari baik untuk melaksanakan upacara perkawinan.
Datangnya sang pria untuk tinggal di rumah calon mertua inilah yang disebut Ngge`e Nuru. Selama terjadinya Ngge`e Nuru, sang pria harus memperlihatkan sikap, tingkah laku dan tutur kata yang baik kepada seluruh keluarga sang gadis disamping ia bekerja untuk membantu calon mertuanya. Bila selama Ngge`e Nuru ini sang pria memperlihatkan sikap sikap, tutur kata yang tidak sopan, malas dan sebagainya, atau tidak pernah melakukan shlat, lamaran bias dibatalkan secara sepihak oleh keluarga perempuan. Ini berarti ikatan So`di Angi dintara dua remaja tadi putus.
Tujuan utama Ngge`e Nuru ini adalah proses adaptasi antara sang pria dengan kehidupan calon mertua. Selama Ngge`e Nuru, pria tidak diperkenkan bergaul bebas dengan perempuan calon istrinya.
Mbolo Weki
Mbolo Weki adalah upacara musyawarah dan mufakat seluruh keluarga maupun handai taulan dalam masyarakat untuk merundingkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan hajatan/rencana perkawinan yang akan dilaksanakan. Dalm tradisi Khitanan juga demikian. Hal-hal yang dimufakatakan dalam acara Mbolo Weki menentukan hari baik, bulan baik untuk melaksanakan hajat tersebut serta pembagian tugas kepada keluarga dan handai taulan. Bila ad hajatan pernikahan, masyarakat dengan sendirinya dengan gotong royong membantu keluarga melakjsanakan hajatan. Bantuan berupa uang, hewan ternak, padi/beras, dan lainnya.
Teka Ra Ne`e
Teka Ne`e ke keluarga yang melaksanakan hajatan merupakan kebiasan masyarakat Bima. Teka Ra Ne`e berupa pemberian bantuan pada keluarga yang mengawinkan putra putrinya. Bila upacara Teka Ra Ne`e dimulai berduyun-duyunlah masyarakat, umumnya kaum Hawa, dating ke rumah keluaraga tuan rumah membawa uang, bahan pakian.
Selama upacara pernikahan digelar seperti keramaian seperti hadrah atau biola semalam suntuk. Adapula olah raga seperti Guntawatau tarian seperti Buja Kadanda.
Wa`a Co`i
Wa`a Co`I maksudnya upacara mengantar mahar atau mas kawin, dari keluarga pria kepada keluarga sang gadis. Dengan adanya upacara ini, berarti beberapa hari lagi kedua remaja tadi segera dinikahkan. Banyaknya barang dan nilai mahar, tergantung hasil mufakat antara kedua orang tua remaja tersebut. Pada umumnya berupa rumah, perabotan rumah tangga, perlengkapan tidur dan sebagainya. Tapi semua itu harus dijelaskan berapa nilai nominalnya.
Upacara mengantar mahar ini biasanya dihadiri dan disaksikan oleh seluruh anggota masyarakat di sekitarnya. Digelar pula arak-arakan yang meriah dari rumah orang tua sang pria menuju rumah orang tua sang gadis. Semua perlengkapan mahar dan kebutuhan lain untuk upacara perkawinan seperti beras, kayu api, hewan ternak, jajan dan sebagainya ikut dibawa.
Akad Nikah
Akad nikah merupakan puncak acara. Sebelum akad berlangsung, malamnya dilakukan upacara Kapanca. Acra ini disebut Londo `Dende, dimana pengantin pria diantar ramai-ramai oleh keluarga dan handai taulan dengan diiringi kesenian hadrah ke tempat pengantin wanita. Pengantin pria memakai pakaian adat pengantin. Kadang-kadang kedua pengantin diarak bersama-sama menuju tempat upacara. Seringkali hanya pengantin pria yang diarak. Pengantin wanita hanya menunggu di tempat upacara.
Di tempat pengantin wanita dipersiapkan berpakaian adapt pengantin dan duduk di atas pelaminan yang dihiasi ornament-ornamen tradisional. Duduknya di bawah [di atas kasur berhias] dengan bersimpuh menurut adat [doho tuku tatu`u]. Ia didampingi seorang inang pengasuh dan dua orang remaja putrid dari keluarga dekat yang bertugas mengipas, selain itu duduk pula dua orang laki-laki atau perempuan yang membawa alat penginang.
Di muka pelaminan duduk berbaris berhadap-hadapan putrid-putri remaja yang membawa lilin berhias. Di belakang dan di samping mereka duduk para tamu-tamu ibu-ibu atau bapak-bapak. Orang tua pengantin duduk di sebelah pelaminan. Ruangan yersebut dibatasi dengan tirai-tirai adapt yang disebut `Dindi Ra-Lara berwarna warni. Biasanya dipakai warna merah, hijau, kuning, dan putih.
Saat pengantin dan rombongan naik atau masuk ke ruangan, mereka berhenti di depan tirai. Terjadilah semacam dialog pendek antara pengantar [bapak-bapak] pengantin pria dengan penjaga tirai [bapak-bapak] pihak wanita. Setelah diserahkan uang pelumas dan siruih pinang, barulah tirai-tirai di buka oleh ibu-ibu dari pihak wanita dari dalam tirai dan disambung taburan beras kuning.
Masuklah pengantin pria dengan dikawal dua orang bapak atau ibu yang berhenti di depan pelaminan. Pengantin pria melangkah naik ke pelaminan dan menancapkan setngkai kembangdiatas gelung pengantin wanita yang duduk membelakangi. Pengantin wanita mencabut kembangnyadan membuangnya [ ini dilakukan sebanyak tiga kali]. Acara ini disebut Nenggu. Setelah Nenggu, pengantin wanita berbalik sama-sama duduk berhadapan kemudian pengantin wanita sujud dan salaman dengan pengantin pria. Selanjutnya mereka duduk bersanding untuk disaksikan oleh undangan dabn handai taulan.
Pada acara ini masyarakat, pemuka agama, laki perempuan diundang untuk menyaksikan dan memberi do`a restu. Pelaksanaan upacara ini bermacam-macam. Kadang-kadang hanya dengan selamatan biasa, biasa disebut Do`a Jama. Kadang-kadang dengan pesta yang meriah dan diiringi dengan orkes atau band. Dengan disaksikan oleh seluruh tamu, dihadapan petugas agama, saksi khusu, pengantin pria duduk berhadapan dengan calon mertuanya, berpegangan tangan dalam posisi dua ibu jari kanan mereka saling dirapatkan. Dalam posisi demikian, diadakanlah akad nikah atau ijab Kabul atau Lafa harus didahului dengan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat yang diucapkan oleh calon mertua atau wali dengan diikuti memplai pria.
Selesai mengucapkan akad nikah, resmilah si pria menjadi suami si wanita. Proses selanjutnya adalah mengantar pengantinlaki-laki menuju tempat duduk pengantin wanita dengan dinantar penghulu atau siapa saja yang berada di sekitar itu untuk melakukan upacara Caka [jengkal] yaitu ibu jari kanan pria diletakkan diatas ubun-ubun pengantin wanitayang disusul dengan berjabat tangan antar kedua pengantin yang selanjutnya mereka duduk bersanding. Caka sebagai pertanda pemulaan sang suami menyentuh sang istri dan mulai saat itu mereka sudah halal untuk bergaul sebagai siami istri.
‘Boho Oi Ndeu
`Boho Oi Ndeu adalah mandi sebagai ucapan pertanda ucapan selamat tinggal atas masa remaja. Boho Oi Ndeu dilakukan sehari setelah akad nikah dilangsungkan tapi sebelum pengantin bergaul sebagai suami istri. Pada upacara ini pengantin duduk bersama pada tempat tertentu yang telah disediakan, kemudian dari atas kepalanya oleh dukun dituangkan air yang sudah dipersiapkan dalam periuk tanah yang baru [roa `bou; roa artinya periuk; bou artinya baru]. Leher periuk dilingkari dengan segulung benang putih. Boho oi ndeu biasanya dilakukan pagi hari yang disusul dengan do`a selamatan pada sore harinya. Kedua pengantin duduk berdampingan, menduduki satu alat tenun “Lira” namanya, sedang badan mereka dililit dengan untaian benang tenun dari kapas putih sebagai lambang ikatan suci, kemudian dilakukan siraman dengan air wangi-wangian. Inilah akhir Nika Ra Neku.
Acara mandi untuk calon pengantin wanita dilakukan juga sebelum acara perkawinan yakni pada pagi hari sebelum acara Kapanca. Mandi ini disebut `Boho Oi Mbaru yang artinya memandikan atau menghapuskan masa kegadisan bagi calon pengantin wanita. Setelah mandi dilanjutkan dengan `Boru cukuran yaitu mencukur dahi calon mempelai wanita menurut bentuk dandanan yang diperlukan.
Pada hari ketiga pengantin wanita diboyong kerumah pengantin pria dalam acara yang disebut Lao Keka. Ditempat pengantin pria diadakan acara Pamaco, dimana kedua pengantin diperkenalkan pada para undangan yang satu persatu menyampaika sumbangan, entah uang atau barang, bahkan secara simbolis menyerahkan seuntai tali apabila hadiahnya seekor kerbau.
Pernikahan
Pernikahan atau nika ra nekudalam tradisi Bima memiliki aturan baku. Aturan itu cukup ketat sehingga satu kesalahan bisarencana pernikahan (nika) tertunda bahkan batal. Dulu, seorang calon mempelai laki-lak tidak diperkenankan berpapasan dengan calon mertua. Dia harus menghindari jalan berpapasan. Jka kebetulan berpapasan maka calon dianggap tidak sopan. Harus dihukum dengan menolaknya menjadi menantu.
Aturan yang ketat itu tentu menjadi bermakna karena ditaati oleh segenap anggota masyarakat. Kini, tentu aturan tersebut sudah ditinggalkan. Misalnya Ngge`e nuru atau tinggal bersamacalon mertua untuk mengabdi disana.
Jambuta
Ada sebuah upcara yang menjadi sebuah prosesi perkawinan yaitu Jambuta. Semula upacara hanya berlaku di kalangan etnis Arab namun akhirnya menjadi bagian dari tradisi Bima maupun orang Melayu.
Jambuta hampir sama tujuannya dengan Teka Ra Ne`e namun pelaksanannya cukup sehari, sedang Teka Ra Ne`e berkisar antara dua hari sampai tiga hari.
Kapanca
Upacara ini dilakukan sehari sebelum calon pengantin wanita di nikahkan. Setiba di Uma Ruka calon pengantin wanita akan melaksanakan acara adat yang disebut Kapanca yaitu penempelan Kapanca [inai] diatas telapak calon pengantin wanita. Dilakukan secara bergilir oleh ibu-ibu pemuka adapt. Kapanca merupakan peringatan bagi si calon pengantin wanita bahwa dalam waktu yang tak lama lagi akan melakukan tugas sebagai istri atau ibu rumah tanga.
Sehinga dengan kegiatan Kapanca, akan disuguhkan sejenis kesenian rakyat yang bernafaskan ajaran islam yang disebut Ziki Kapanca yang dilakukan oleh para undangan. Mereka akan membawakan syair yang bernuansa islami yang liriknya berisikan pujian dan sanjungan kepada Allah dan Rasul. Usai Ziki Kapanca dilanjutkan dengan pertunjukan kesenian dan musik Mbojo semalam suntuk.
Menanti Kelahiran
Menanti kelahiran ini mempunyai urutan kegiatan yang cukup banyak. Sejumlah pantangan diberlakukan kepada sang ibu yang sedang mengandung. Suami juga harus berpantang pada banyak hal seperti tidak boleh meledek orang terlebih lagi yang cacat, tidak membunuh binatang atau berkata-kata kotor. Juga ada acara khusus menanti kelahiran sang bayi.
Nggana Ro Nggina maksudnyya segala sesuatu yang berhubungan dengan kelahiran bayi, baiksebelum maupun sesudah bayi lahir. Nggana artinyamelahirkan, Nggina artinya hal yang berhubungan dengan masalah kelahiran bayi. Upacara berhubungan dengan kelahiran bayi adalah sebagai berikut:
Salama Loko/Kiri Loko
Upacara Salsma Loko/Kiri Loko adalah upacara yang diadakan atas diri wanita pada waktu ia hamil pertama. Kiri artinya merubah posisi;Salama maksudnya selamatan atau selamat;Loko berarti perut. Jadi upacara Salama Loko/Kiri Loko maksudnya upacara do`a selamat semoga ibu yang hamil itu diberi keselamatan oleh Allah SWT bersama bayi yang dikandungnya. Termasuk pula bayi-bayi berikutnya. Pada upacara ini posisi perut ibu hamil tadi diperiksa oleh dukun beranak, diperbaiki posisi bayi yang ada di dalam kandungan dan di beri do`a oleh sang dukun.
Pada upacara ini keluarga dan tetangga baik pria maupun wanita diundang hadir untuk menyaksikan. Disaat dukun memperbaiki dan meraba-raba perut ibu hamil tersebut, saat itu pula para tamu laki-laki mengadakan do`a zikir. Ibu-ibu juga hadir untuk menyaksikan upacara salama loko /kiri loko , mereka umumnya membawa barang-barang kado/hadiah/sumbangan untuk sang ibu hamil. Kado/ hadiah/ sumbangan ini biasanya perlengkapan kebutuhan ibu dan bayi seperti baju bayi, handuk, bedak dan kadang-kadang uang tunai. Upacara Salama Loko/Kiri Loko ini biasanya dilakukan ketika ibu hamil 6-9 bulan. Ketika sang istri hamil, kedua pasangan suami istri dilarang.
1. berkata yang tidak senonoh
2. menganiaya binatang atau manusia
3. sedapat mungkin tidak menyembelih binatang ternak
4. tidak berhubungan suami istri bila mendengar berita ada tetanga atau orang lain meninggal
5. tidak membuang air besar di sembarang tempat
6. tidak memotong sesuatu seperti kayu atau mengunting kertas. Jika terpaksa, ia harus ingat bahwa istrinya sedang hamil
7. suami tidak diperkenankan berburu atau melakukan pekerjaan yang kurang baik seperti mengambil milik orang orang lain tanpa seijin orang yang punya dan sebaginya serta
8. khusus istri tidak boleh tidur disaat matahari menjelang naik
Cafi Sari
Begitu sang bayi dilahirkan dan dibersihkan dari darah nifas ibunya, dia di selimuti. Setelah itu didengungkangkan ke telinga bayi azan dan iqomat. Biasnya dilakukan laki-laki dewasa, lazim pemuka agama. Ini sebagai petanda bahwa mulai saat ini sang bayi diberi jiwa keislaman.
Menjelang seminggu atau setelah tali pusar bayi terputus/tanggal, diadakanlah upacara Cafi Sari dan Dore. Pada upacara Cafi Sari dilakukan oleh dukun beranak yang membantu bayi waktu bayi dilahirkan. Sang dukun memandikan bayi dengan air yang ia do`aid an daun-daun tertentu menurut pilihan dukun itu sendiri. Terakhir sisa air mandi tersebut dipakai untuk membersihkan lantai tempat mandi dilaksanakan. Itulah yang disebut Cafi Sari. Cafi artinya menyapu, Sari maksudnya lantai rumah yang dibuat dari bamboo yang dibelah.
Untuk keperluan Cafi Sari disediakan bahan-bahan makanan yang sudah maupun belum dimasak, ketupat, beras, ketan, bertih [ karaba ] yaitu beras ketan yang digorengtanpa campuran bahan lain sehingga beras itu merekah, ayam maupun pakian. Semua itu diperuntukan pada dukun untuk dibawa pulang. Dari keadan ini, hakikat upacara Cafi Sari adalah upacara sematan dan tanda terima kasih pada dukun yang telah membantu kelahiran bayi.
‘Dore
Upacara Cafi Sari seringkali diikuti dengan upacara Dore yaitu suatu tradisi dimana sang bayi dengan perantara tuan guru disuruh menyentuh tanah pertama kali. Caranya, segenggam tanah yang telah dihaluskan [biasanya tanah diambil dari dekat masjid] diletakkan diatas talam yang beralaskan dauun pisang muda, lalu kaki sang bayi disentuhkan pada tanah tersebut.
Sebelum bayi diperlakukan sedemikian [ belum diadakan upacara Dore], bayi tak boleh dikenai tanah. Upacara Dore pertanda manusia itu berasal dari tanah dan sekali waktu akan kembali ke tanah. Upacara ini disertai dengan zikir dan do`a.
Boru dan Keka
Sering terjadi, upacara Dore dilakukan bersamaan dengan upacara Boru dan Keka. Upacara boru ini maksudnya pencukuran rambut pertama kali diatas diri bayi. Upacara ini sebagai pertanda bahwa rambut sang bayi bukan lagi rambut yang dikenai darah waktu bayi berumur sembilan hari atau maksimal berumur tiga bulan. Wujud pelaksanaanya ialah bayi diselimuti dengan rapi lalu tamu yang diundang secara bergiliran datang menggunting rambut sang bayi. Sebelum rambut sang bayi digunting diusap dengan air bersih. Air tersebut dimasukkan dalam panic atau kedalam sebutir buah kelapa muda yang airnya telah dikeluarkan. Kelapa muda dibuat dan diukir sedemikian rupa dan dibagian atasnya dibalut dengan perhiasan dari emas [biasanya kalung emas].
Bersama dengan upacara `Boru, dilakukan pula dengan pemberian nama sang bayi. Upacara Boru ini biasanya dilakukan dengan mengadakan selamatan dengan menyajikan santapan dan menyembelih kambing. Kambing yang di sembelih itu merupakan hewan ternak yang merupakan korbanan untuk dan atas nama bayi itu. Penyembelihan itu disebut Keka.
Ada kepercayan orang Bima, sesuai ajaran Islam, bila bayi berusia antara 7-9 hari, untuk dan atas nama bayi itu lalu dilakukan penyembelihan hewan ternak. Diyakini, di akhirat kelak bayi itu akan mendapat pahala dari Allah SWT.
Khitanan
Seperti ragam upacara lain, Sunat atau Khitanan pun punya aturan. Semuanya mengacu pada ajaran dan tradisi islam. Ada juga diselipkan tradisi nenek moyang seperti menyediakan soji atau sajen. Generasi baru dari kalangan Muhammaduyah menyarankan para keluarga yang mengkhitankan anaknya tidak mengunakan sajen. Lambat laun saran itupun diikuti. Sajen tersebut biasanya, kembang dalam gerabah, oha mina, kelapa muda dan karaba.
Saraso
Khitanan bagi orang Bima sejak Islam mulai masuk hingga kini telah menjadi kegiatan keagamaan yang dianggap wajib hukumnya. Pelaksanan khitanan itu sendiri memiliki urutan yang baku. Meskipun tata urutan khitanan mulai tampak ada perbedan, namun sebagian besar masyarakat masih melaksanakan prosesi seperti Compo Sampari [menyarungkan keris] dan sebagainya
Pada masa ank laki-laki berusia 6-7 tahun sampai 12 tahun diselenggarakan khitanan. Upacara tersebut disebut Suna [dari asal kata sunat atau khitan]. Upacara Suna merupakan besar karena menyangkut anak laki-laki yang menurut adat mempunyai kedudukan yang lebih penting dari anak perempuan. Biasanya upacara khitanan dilakukan untuk anak laki-laki digabungkan dengan anak perempuan yang berumur lebih muda [biasanya anak perempuan seusia 3-6 tahun].
Pada umur tiga tahun anak perempuan sudah dapat di khitan. Upacara khitanan anak perempuan ini disebut Saraso. Upacara saraso ini biasanya hanya dihadiri oleh kaum wanita/ibu-ibu dengan diawali do`a dan shalawat yang dipimpin seorang penghulu atau lebai. Upacara ini dilaksanakan oleh Sando atau perempuan yang punya keahlian mengkhitan anak perempuan [dukun]. Saat itu si anak sudah diberi bekal kekuatan oleh dukun dan dipersiapkan dengan pakaian adat yaitu memakai sarung warna kuning dengan dada dihiasi Kawari dan bermacam-macam kalung [kondo randa] dan gelang pusaka (motik-motik).
Usai di khitan, anak dimandikan dan disipkan untuk upacara berikutnya yaitu Compo `Baju atau pemakaian baju adapt untuk pertama kali. Acara ini sama dengan pemakian keris untuk anak laki-laki dan hingga kini acara ini masih dilakukan.
Songko Lanta dan Kawari
Anak laki-laki yang dikhitan dikenakan pakian adat seperti pakiaian kebesaran pejabat-pejabat hadat kerajan, yakni bercelana panjang dengan dada terbuka, songkok bundar terbuat dari tanduk dihiasi kembang dibagian belakang. Songkok ini disebut Songko Lanta. Di dada dikalungkan Kawari Besar (hiasan logam emas atau perak yang berbentuk bundar) dan diseluruh bagian dada dan belakang anak tersebut dicat dengan tepung atau bedak bergambar titik segi empat yang teratur. Acara khitanan dilakukan bersama-sama antara anak laki-laki sekeluarga dan lain-lain serta yang tidak mampu melaksanakan sendiri.
Kapanca
Upacara khitanan dilakukan selama dua hari, pertama pada malam harinya dilakukan upacara Kapanca [seperti Kapanca untuk calo mempelai wanita], hari kedua pada waktu petang anak-anak yang akan di khitan itu duduk berjejer di tengah para tamu undangan dengan pakian kebesaran tadi tanpa mengenakan keris.
Compo Sampari
Saat itulah dilakukan acara Compo Sampari [menyarungkan keris] yaitu acara memakaikan keris pada anak-anak untuk memakaikan keris pada anak laki-laki. Dengan demikian menanamkan rasa harga diri dan keberanian sebagai seorang yang kesatria yang harus berani menantang cobaan.
Menurut adapt yang melakukan Compo Sampari adalah tokoh terhormat yang berpangkat, kemudian digilir berikutnya oleh orang-orang yang dianggapm dihormatidan disegani di kampong itu. Sebelum Compo Sampari, didahului dengan ucapan shalawat atas nabi Muhammad SAW sebanyak tiga kali oleh seorang penghulu. Setelah sellesai, anak-anak tersebut dikeluarkan dari ruangan sedang perlengkapan pakiannya dibuka dan diganti dengan sehelaai sarung, biasa berwarna kuning untuk menanti khitanan.
Sebagai awal acara khitanan, diadakan pembacaan do`a selamatan yang disusul dengan jamuan makanan. Setelah itu para undangan dipersilahkan menyaksikan bersama pelaksanan khitanan anak-anak tersebut. Dengan diiringi gendang dan seruling yang gemuruh, dimulailah acara khitanan itu dengan irama khususkhitanan yaitu irama khitanan, dengan maksud memberi rasa semangat dan berani pada anak sehingga ia tidak merasa kesakitan, sura gendang dan seruling akan menutup tangis atau rintihan si anak jika merasa sakit. Setelah dikhitan, anak diberikan telur rebus dan nasi kadar Sapore (oha sapore) yang dianggap sebagai obat. Hingga kini Oha Sapore masih merupakan symbol kekuatan dan kesehatan bagi yang sakit.
Maka
Usai khitanan, dimulailah acara Maka yaitu semacam bertukas menari keris. Diawali oleh orang yang berbadan tegap maju kedepan dengan memegang keris terhunus, membentak-bentak, bertepik-tepik dengan muka yang garang dan galak dihadapan khalayak ramai sambil bertukas dengan kata-kata semboyan yang bersemangat dan menunjukkan keberanian dan kejantanan.keberanian dalam arti membela yang benar.
Ndoso
Di zaman dulu, saat upacara Compo Sampari, dilakukan pula acara Ndoso yaitu memotong gigi. Caranya, anak menggigit sekerat batang jarak kemudian oleh kepala Desa /Penghulu dan satu atau dua orang tua lainnya, berganti-ganti menggosokkan pecahan periuk pada keratin jarak yang digigit tadi [memotong gigi secxara simbolis].
PENUTUP
Allah swt mengingatkan pada kita agar al-Qur’an mendarah-daging dalam tubuh dan perilaku keseharian kita. Allah berfirman :
بَلْ هُوَ ءَايَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ
Al-Qur’an adalah ayat-ayat penjelas yang terpatri dalam hati para kaum cendekiawan
Jejak mendalami al-Qur’an yang kita tapaki sekarang, hakikatnya adalah bagian dari jejak menuju surga, lantaran banyak fasilitas yang Allah karuniakan kepada ‘shahibul qur’an’. Sebagaimana sabda Nabi :
حَدَّثَنِي أَبُو أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ (رواه مسلم)
Bacalah al-Qur’an karena ia kelak akan datang dengan memberi syafaat di hari kiamat
Akhirnya, semoga jejak langkah kita menuju kebaikan senantiasa mendapat kemudahan dari Allah swt.